Anti Partai Anti Kemunafikan

Monday, April 30, 2007

Menteri Agama Bangkitkan Semangat Jihad

BANDUNG RAYA
Kamis, 24 Oktober 2002
BANDUNG, (PR).-Menteri Agama Prof. Dr. K.H. Said Agil Husein Al-Munawwar memandang perlunya dibangkitkan kembali semangat jihad atau semangat kejuangan seperti yang telah diperlihatkan ulama terdahulu. Dengan semangat jihad tersebut Republik Indonesia bisa berdiri tegak dan sejajar dengan negara-negara lain yang merdeka dan berdaulat.
"Dengan nilai-nilai kejuangan atau dalam ajaran Islam disebut jihad tadi persatuan bangsa Indonesia semakin kokoh hingga mampu menangkal berbagai upaya dan tipu daya kolonialis dan imperialis yang ingin menguasai bangsa dan Tanah Air," kata Menag saat membuka Semiloka Peringatan Resolusi Jihad NU dan Peletakan Batu Pertama Madrasah Aliyah Pesantren Darul Ma'rif Desa Rahayu Kec. Margaasih Kab. Bandung, Rabu (23/10).
Dalam acara yang dihadiri Sekwilda Jabar Drs. H. Danny Setiawan, Kakanwil Depag Jabar Drs. M. Sodik, Ketua MUI Jabar K.H. Hafidz Utsman, dan Kakandepag Kab. Bandung Drs. H. Chairul Baridien, Menag mengatakan, semangat jihad masih relevan hingga harus terus dilestarikan dan diwujudkan dalam keseharian apalagi dalam situasi dan kondisi kemasyarakatan yang mengalami cobaan cukup berat. "Bangsa kita sedang mengalami cobaan yang cukup berat baik lahir maupun batin. Pada masa perjuangan dulu, para ulama kita tidak ragu-ragu lagi mengibarkan fatwa jihad hingga perlu kita hidupkan lagi semangat jihad warisan ulama terutama kalangan Nahdlatul Ulama," katanya.
Peranan ulama dalam perjuangan bangsa di mana pun dan kapan pun, lanjut Menag, tidak usah diragukan lagi karena mereka memiliki tekad dan keyakinan sangat kuat hingga kemudian ditanamkan kepada para pejuang untuk melawan penjajah. "Para ulama juga telah membina dan mengobarkan semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa. Ulama mengerahkan segala kemampuannya baik ilmu, wibawa, maupun pengaruh pribadinya untuk menggalang kebersamaan dan persatuan," timpalnya.
Sikap lain ulama yang perlu dicontoh, menurut Menag, adalah mendahulukan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi dan golongannya. "Ulama berani berkorban demi keutuhan dan kejayaan bangsa dan negara meski mereka tidak menikmati secara material hasil pengorbanannya. Ulama sudah merasa bahagia apabila generasi sesudahnya dapat menikmati udara merdeka, tidak terbelenggu kekuatan kolonialis dan imperialis," katanya.
Di samping itu, ulama juga memiliki kesadaran dan tanggung jawab tinggi sebagai pemimpin dan pengayom umat dengan membimbing, mengarahkan, dan mencerahkan masyarakat hingga terbebas dari tekanan dan penindasan siapa pun. "Ulama senantiasa tampil di depan dan melakukan tindakan semestinya untuk mengatasi permasalahan malah dalam situasi kritis mampu mengambil keputusan cepat dan tepat. Karena, dalam pikiran dan perasaan ulama tidak ada lain kecuali demi kepentingan, keselamatan, dan kelestarian bangsa dan negara," katanya.
Bukan bawa pedang
Sementara itu, Ketua Tanfidzi PWNU Jabar, K.H. Sofyan Yahya mengatakan, peringatan resolusi jihad ke-50 NU bukanlah berhubungan dengan Lasykar Jihad apalagi sampai menghidupkannya kembali. "Di saat kondisi negara yang sudah tak jelas arahnya lagi dan kehidupan masyarakat yang tidak lagi mempertimbangkan benar salah maupun halal dan haram, semangat jihad perlu dihidupkan lagi," katanya.
Menurut Kiai Sofyan, apabila negara Indonesia dikelola oleh SDM yang profesional dan memiliki ruh jihad tinggi, tidak akan merasa rendah diri apalagi sampai takut kepada negara lain. "Semangat jihad bukan diartikan dengan berjuang mengacung-acungkan pedang di pinggir jalan. Antara semangat jihad yang membela dan merusak citra Islam saat ini sulit dibedakan. Mari kita luruskan lagi ucapan Allahu Akbar bukan di dalam WC melainkan di masjid, madrasah atau pesantren," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Menag menyerahkan bantuan sebesar Rp 25 juta untuk membangun gedung Madrasah Aliyah Pesantren Darul Ma'arif yang dilanjutkan dengan peletakan batu pertama oleh para pejabat dan ulama. "Kami menyambut baik adanya pembangunan Madrasah Aliyah Darul Ma'arif apalagi rata-rata masa pendidikan masyarakat Jawa Barat hanya 6,8 tahun atau lulusan SD," kata H. Danni Setiawan.
Dalam kesempatan itu, sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara menyerahkan guntingan koran "Resolusi Jihad NU 23 Oktober 1945" yang kemudian mengobarkan semangat perlawan termasuk Arek-Arek Suroboyo yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan. "Resolusi Jihad NU dipelopori K.H. Hasyim Asy'ari sebagai pendiri NU yang berisi seruan agar umat Islam terutama warga NU wajib, fardu ain, mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia," katanya.
Sumbang Masjid Agung
Sebelumnya, Menag menyempatkan untuk meninjau pembangunan Masjid Agung Bandung atau yang kini dikenal dengan nama Masjid Raya Bandung Jawa Barat. Peninjauan tersebut sekaligus menyerahkan bantuan sebesar Rp 100 juta untuk membantu penyelesaian pembangunan Masjid Agung.
Pada kesempatan tersebut, Menag diterima Ketua Harian Panitia Pembangunan Masjid Agung Bandung H. Uu Rukmana didampingi Ketua DKM Masjid Agung H. Tjetje Soebrata dan juga para pejabat Pemkot Bandung lainnya. Menag sempat pula melakukan peninjauan ke seluruh lokasi pembangunan termasuk rencana pengembangan pusat perniagaan Islam yang berada di sayap Masjid Agung tersebut.
Menurut Uu, pemberian bantuan dari Menag tersebut tidak ada kaitan dengan kasus-kasus lain yang bersangkutan dengan Menag seperti kasus Batutulis. "Ini merupakan rencana lama sebelum kasus Batutulis muncul dan tidak ada pengaruh apa-apa dengan adanya bantuan tersebut dengan rencana class actions dari masyarakat Sunda," ujarnya. (A-63/A-71/Han)***

Hak Cipta 2002 - Pikiran Rakyat Cyber Media-
-

Seniman Berpartai Bukan Makhluk Suci


Orde Baru longsor. Zaman baru datang. Seniman dan artis pun berbondong-bondong masuk dunia politik. Apa bedanya dengan Lekra-PKI?
PRAMOEDYA Ananta Toer yang sudah tua, agak pekak, memakai surjan, kemeja tradisional Jawa berwarna abu-abu. Ia tampak segar. "Tapi, ia tak mau pakai dasi," kata Maemunah, istri yang dicintai Pramoedya, seperti disyiarkan Radio Nederland, Jumat pekan silam. Padahal, novelis Indonesia tersohor, dan kini menjadi anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), muncul di New York, jantung kapitalisme dunia. Bekas anggota Lekra, mantel kebudayaan bekas Partai Komunis Indonesia (PKI), itu menjadi tamu bergengsi dari Asia Society, New York, seraya memperkenalkan edisi Inggris novelnya yang bertajuk Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Goenawan Mohamad (GM), tampil pula memaparkan apresiasinya terhadap Pram, nama akrab Pramoedya. Agar tahu saja, GM dulu adalah salah seorang pendiri Manifesto Kebudayaan, yang diganyang oleh Pram dan kawan-kawannya di Lekra pada masa Orde Lama.
Sementara itu, di Jakarta, sastrawan Ikranagara tengah menulis cerita pendek di rumahnya di kawasan Tebet, Sabtu malam, pekan silam. Seperti Pram, Ikra --begitu seniman asal Singaraja, Bali, ini dipanggil-- kepada Ari Sutanti dari Gamma mengaku bahwa ia malah duduk sebagai Ketua Departemen Kebudayaan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin Amien Rais. Ikra pun pada masa Orde Lama adalah pendukung Manifesto Kebudayaan. Bahkan, sejumlah koleksi buku seninya, seperti karangan H.B. Yassin, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, dan Boris Pasternak, digeledah dan dirampas orang-orang Lekra dari rumah orangtuanya di Singaraja, di penghujung akan runtuhnya Orde Lama.
Zaman memang telah berubah. PKI telah lama ditenggelamkan sejarah. Bahkan, Orde Baru pun telah terkubur. Ketika zaman baru datang, era reformasi, sistem multipartai muncul. Para seniman dan artis yang dulu berduyun-duyun dikooptasi Golongan Karya (Golkar) kini bebas menentukan pilihan. Bahkan, itu tadi: Pram, yang dulu tak ikut memilih, kini boleh masuk PRD dipimpin Budiman Sudjatmiko, yang masih dalam penjara.
Tengoklah, sejumlah artis kini berani jadi anggota partai nonpartai Golkar. Ada Wanda Hamidah, model dan artis sinetron, yang masuk PAN. Mieke Wijaya, pemeran Bu Broto dalam sinetron seri Losmen jadi Ketua Departemen Seni & Budaya Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Penyanyi Hetty Koes Endang masuk Partai kebangkitan Bangsa (PKB). Meskipun, artis Yoseano Waas, Renny Djajoesman, dan penyanyi dangdut Machica Mochtar tetap saja bertahan di Partai Golkar (Lihat: "Di Zaman Baru Mereka Tak Cuma Goyang Pinggul"). Dan, sejumlah seniman maupun artis lainnya yang terlalu panjang untuk disebutkan satu per satu.
Nah, misalkan Pram, Ikra, Yoseano dan Mieke nanti jadi calon anggota legislatif, dan berhasil menjadi anggota DPR, sekaligus anggota MPR, maka orang semacam mereka semakin bulat menjadi seniman partai. Tapi tentu saja mereka berbeda dengan para seniman yang terpilih menjadi utusan golongan mewakili seniman, budayawan, cendekiawan, dan ilmuwan sebanyak sembilan orang di MPR. Seperti diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis pekan lalu, ada sembilan golongan, seperti agama, LSM, pemuda, mahasiswa, seniman, etnik minoritas, penyandang cacat, pegawai negeri, veteran, dan ekonomi lemah, ditetapkan sebagai utusan golongan, semuanya berjumlah 65 orang.
Utusan golongan budayawan dan seniman ini penting, karena selama ini banyak seniman yang alergi kepada proses politik yang mengakibatkan aspirasi mereka tak terwakili. Sebutlah, dramawan kondang Rendra selama ini selalu independen, dan "berumah di atas angin". "Sekarang kita ingin seniman yang berpikiran merdeka dan tidak boleh ada kaitannya dengan partai politik," kata Andi Alfian Malarangeng, anggota KPU, Sabtu pekan lalu, kepada Taufik Rinaldi dari Gamma. Nah, makin jelaslah di masa depan akan ada dua kategori seniman dalam terminologi politik. Yakni, seniman partai, semacam Ikra dan Pram, dan golongan seniman versi KPU tersebut.
Tapi, kepala Andi jadi pusing bila ditanya siapa seniman dan budayawan yang berhak menjadi utusan golongan di MPR. Organisasi mana pula yang berhak memutuskannya. "Kita tidak tahu, belum dirumuskan," kata Andi. Tapi kemudian, Andi bertutur kira-kira begini: KPU akan mengusulkan organisasi seniman yang dipertimbangkan untuk menyusun wakilnya di MPR, lalu KPU akan membahasnya. Wah, tetap saja masih kabur.
Pertanyaan bertubi-tubi pun terdengar dari Dr. Salim Said, bekas Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Bila pemerintah yang menentukannya, itu kan sama saja dengan Orde Baru? Bila dewan kesenian yang menetapkannya, apakah otoritas institusi itu diakui semua seniman? Bila sesama seniman yang menetapkannya, apa pula kriterianya? Apakah harus seniman yang punya adikarya, adiluhung? Bila itu parameternya, apakah seniman macam itu "qualified" untuk urusan politik di MPR? "Jangan-jangan pula seniman bersangkutan tak tertarik," kata Salim kepada Gamma.
Salim bahkan menyoal di zaman baru ketika sudah ada 48 partai, apakah konsep utusan golongan itu masih relevan? Memang, sistem perutusan golongan ini sudah ada sejak 1950-an di masa demokrasi parlementer. Tapi, implementasinya hingga sekarang tak pernah betul. "Ingat, di zaman Orde Baru, jangankan utusan golongan, utusan partai pun mestilah yang disenangi pemerintah," kata Salim. Anggota MPR ini malah menuding konsep dasar utusan golongan itu adalah akal-akalan pemerintah untuk mengecilkan peranan partai.
Harry Roesli, seniman eksentrik dari Bandung, ini pun tak merasa terkejut. "Dari dulu juga sudah ada," katanya kepada Paulus Winarto dari Gamma. Yang penting, orangnya harus representatif. Percuma pula bila seorang seniman tapi tak membawa aspirasi seniman. Seorang yang bukan seniman malah bisa lebih bagus bila dapat menyalurkan aspirasi seniman. "Cuma kalau orangnya kayak Edi Sud (pimpinan artis Safari, Red.), yang programnya tak jelas, ya percuma belaka," kata Harry.
Terlepas dari kritik Salim yang logis itu, munculnya fenomena seniman partai ini mengingatkan publik kepada debut Lekra, yang dulu menjadi "onderbow" PKI. Tentu saja bukan atas ideologi komunisnya. Melainkan bagaimana kelak para seniman partai ini beroperasi sebagai orang partai maupun berkreatif sebagai seniman. Apakah paradigma Lekra akan terulang, atau ada wacana baru yang membedakannya?
Seperti meluas diketahui, konsep seni Lekra dulu tak lepas dari ajaran leninisme. Kita simak lagi tulisan Lenin di Harian Novaya Zhizn (Hidup Baru) edisi Nomor 12 Tahun 1905. Antara lain, Lenin menulis, "Sastra (atau seni) harus menjadi bagian dari perjuangan kepentingan proletar, menjadi gir dan sekrup dari mesin raksasa sosial demokrat yang digerakkan oleh kaum buruh". Artinya, Lekra adalah organisasi revolusioner yang memoblisasi rakyat dalam perjuangan partai komunis untuk merebut kekuasaan sebagaimana diajarkan oleh Lenin dan diperkeras oleh Stalin.
Ikra tentu menampik jika dirinya seakan berada pada sudut pandang yang dianggapnya sudah kuno itu. Ia mengaku terjun ke PAN, bermula ketika GM dan Amien Rais datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan mengajak sejumlah seniman untuk berkiprah di partai, menyusul lengsernya Soeharto. "Waktu itu, GM dan Amien menyebut akan mendirikan partai yang berlandas kepada moral yang religius," kata Ikra. Setelah berpikir beberapa hari, Ikra pun oke dan bergabung ke PAN. Meski belakangan GM tak ikut, karena merasa sebagai wartawan Tempo ia harus tetap independen.
Memang berbeda dengan masa Orde Baru, ruang publik, seperti partai, legislatif, dan eksekutif, hanya dikuasai Golkar, militer, dan birokrat. "Tapi juga tunduk pada elite yang dikangkangi Soeharto," kata Ikra. Maka, ketika zaman baru datang, Ikra pun bertekad terjun ke politik agar masyarakat madani bisa menggantikan Golkar, militer, dan kaum birokrat. "Tak seperti di zaman Orde Lama ketika seniman cuma alat partai, dan seniman di zaman Orde Baru tak boleh berpolitik," kata Ikra.
Ikra bukannya tak menyadari seniman tetap bisa berpolitik secara independen, seperti Rendra dan Nano Riantiarno, yang secara substansial melakukan koreksi kepada kekuasaan lewat kreatif seni. "Tapi, cara itu terbukti tidak efektif," kata Ikra. Ikra bercerita, "Waktu dulu Rendra dan Nano dilarang pentas, kita ramai-ramai ke DPR, tapi cuma ditampung saja tanpa realisasi," kata calon anggota legislatif nomor satu PAN untuk Banyuwangi di DPR itu. Artinya, bika Ikra di DPR, ia bisa memperjuangkan sejenis undang-undang yang melarang penguasa melarang pertunjukan kesenian.
Apa bedanya PAN dengan PKI dengan Lekra-nya? Semasih menjadi Mara (Majelis Amanat Rakyat), sebelum jadi PAN, rupanya GM dan Tuti Herati ikut merancang cetak biru partai itu. Baik menyusun program yang menyentuh kesenian maupun untuk memenangkan pemilihan umum. Malah, di dalam pemenangan pemilu PAN, Ikra dan sejumlah seniman ikut terlibat. "Beda dengan dulu (masa Lekra) seniman malah dikendalikan," katanya.
Suara senada terdengar dari Yoseano Waas, anggota DPR dari Golkar. Seniman yang sudah membintangi 102 film itu --dan sudah 30 tahun berkecimpung di politik-- menganggap seorang seniman terjun ke politik adalah hak asasi manusia. "Yang penting, ia harus menyadari kapan ia tampil sebagai seniman dan kapan sebagai aktivis partai," kata artis, yang tak setuju bila seni hanya dianggap hiburan, itu kepada Rojes Saragih dari Gamma. Artinya, sebagai seniman, ia tetap independen. Ia pun merasa tak dieksploitasi Golkar belaka. Tapi juga menyumbang pikiran kepada Golkar.
Tak semua seniman seperti Yoseano dan Ikra. Tak sedikit pula yang memilih tetap berada di luar partai, seperti Rendra, Nano, maupun Ratna Sarumpaet. Ratna yang dicekal dan kondang karena pementasan drama Marsinah yang ditulisnya lebih memilih sebagai pengontrol kekuasaan agar tak menindas rakyat lewat kreativitas seninya. Lagi, sulit bagi ia melihat ada partai yang betul-betul dipercayainya untuk membela rakyat yang selama ini dibelanya. "Ini bukan soal sombong," kata Ratna yang pernah dituduh melakukan makar, gara-gara menjadi Koordinator Siaga (Solidaritas Indonesia untuk Amien Rais dan Megawati) beberapa waktu lalu.
Begitu pun Ratna tak keberatan jika ada sejumlah seniman memilih partai tertentu, sepanjang bukan karena duit. Tapi, ia kesal ada artis yang berpartai karena duit. Misalnya, Renny Djajoesman yang bilang "hidup mati demi Golkar". "Hal itu masih karena uang, mereka dimanjakan Golkar, mungkin semacam utang budi, dan mungkin mereka masih yakin Golkar akan menang," kata Ratna. Padahal, apa yang diperbuat Golkar selama ini, kata Ratna, sudah menyalahi sesuatu yang semestinya diperjuangkan seniman. "Jangan kontradiktiflah," katanya kepada Yesi Maryam dari Gamma.
Artis dan seniman yang bergonta-ganti partai pun dinilai Ratna tak apa apa. "Bisa saja, itu malah sehat, asal ada alasan riil yang logis, yang bukan karena uang," katanya. Ratna pun sebal terhadap para artis yang merasa dibesarkan Golkar. Ia memberi contoh para penyanyi dangdut yang justru "show" mereka diramaikan rakyat. Kaset mereka dibeli rakyat. "Rakyatlah yang membuat mereka populer, mestinya mereka harus membela rakyat," kata Ratna. Jadi, bila kini mereka masih di Golkar, menurut Ratna, itu tidak "fair" terhadap rakyat. Diakuinya, hal itu tak menimpa semua seniman. "Tapi, artis dangdut dan artis sinetron, bila tanpa rakyat, kan tak sukses," katanya.
Cara berpikir bahwa produser dan pihak televisi partikelirlah yang berjasa kepada para artis dangdut, pop, dan sinetron segera dikoreksi Ratna. "Coba ketika 'rating' acara mereka tinggi hingga semakin laris, bukankah karena acara mereka ditonton rakyat. Jadi bela rakyat, dong, sekarang," kata Ratna, dengan emosi berkobar-kobar.
Meski tak meledak-ledak, Nano Riantiarno yang baru rampung mementaskan drama Opera Ikan Asing--sebuah kritik kontekstual kepada dunia perbankan yang amburadul-- juga memilih tak berpartai. "Saya memilih dunia panggung teater sebagai medium berpolitik tanpa politik praktis," katanya kepada Rika Condessy dari Gamma. "Saya melihat apa yang terjadi di sekeliling, saya serap, dan saya sajikan ke panggung, dengan harapan akan mengilhami pemegang keputusan dalam memimpin negara dan publik," katanya.
Lagi pula, Nano memandang partai itu "bisa hidup dan mati". Sedangkan, karya seni lebih abadi. Belum lagi soal tragedi partai yang pada suatu musim bisa dipuja-puji, tapi lain musim dihujat dan dicaci maki. Tapi, yang paling melarang langkahnya masuk ke sebuah partai adalah ada satu garis yang mengatur orang hanya berbuat demi partai saja. "Sedangkan, inti kesenian adalah berbuat untuk kemanusiaan," kata Nano.
Toh, bila sejumlah seniman masuk sebuah partai, Nano bisa menghormatinya sebagai sebuah pilihan hidup. "Kita hormatilah pilihan mereka, dan mudah-mudahan pilihan saya pun dihormati," katanya. Padahal, agar tahu saja, mertua Nano, ayah Ratna Riantiarno, Abdul Madjid, adalah salah seorang deklarator PDI, dan kini sudah pindah ke PDI Perjuangan.
Sekarang, dengar pula komentar komposer kontemporer dari Bandung ini seperti bunyi musiknya yang berdentam-dentum. Dialah Harry Roesli, yang malah pernah dalam suatu acara televisi, bilang akan mendirikan PAP (Partai Anti Partai) dengan lambang 48 partai. "Multipartai itu pembusukan. Entah oleh siapa, mungkin seorang superior, coba bila 48 kue itu menjadi busuk semua, kita cuma bisa bingung," katanya. Maka itu, Harry tak mau membuat partai baru, meskipun ia punya pasukan sebanyak 36.000 anak jalanan. "Dulu tiga saja kita bingung," katanya.
Bila Harry tak mau memasuki satu partai tertentu, tak lain karena trauma ditambah krisis kepercayaan terhadap partai yang ada. "Saya tak bisa percaya begitu ada partai yang bilang partainya berubah. Ibarat pelacur yang tiba-tiba mengaku dirinya sudah berubah," kata Harry. Lagi pula, sudah terlalu banyak partai yang semua mengaku reformis. "Wah, reformasi telah kehilangan makna dan wibawa," tambah Harry.
Harry tak setuju bila dianggap seniman yang tak berpartai sama dengan "macam ompong". Karena, menurutnya, dalam menyampaikan kritik, seniman tak harus membuat solusi. Solusi itu justru harus dibikin oleh mereka yang mampu. Seniman toh bukan manusia super yang tahu segala soal. "Tapi, bila jadi anggota DPR, kita jadi terkurung tak bisa mengkritik," kata Harry, yang berbeda pandang dengan Ikra. Celakanya, seniman dan artis yang masuk partai, apakah partainya jelek atau bagus, harus dibela mati-matian. "Mana bisa independen," kata Harry.
Barangkali, komentar dari Ignas Kleden, budayawan dan penulis esai, ini menarik direnungkan. (Lihat: "Ibarat Pelukis Bermain Sepak Bola"). Seniman berpolitik itu ibarat seorang pelukis yang juga pemain sepak bola. Artinya, peran ganda itu bisa saja. Tak harus menyetop satu di antaranya. Ignas mengingatkan, toh seniman itu bukan mahluk suci, yang hanya berkutat dengan sajak, partitur, cat, dan sebagainya. "Bila dosen, dan sopir boleh berpolitik, kenapa seniman tidak?" kata Salim. Yang penting, jangan distorsi. Ibarat seorang mahaguru jangan memaksa mahasiswanya memilih partainya. Di atas kertas memang mudah.
Bersihar Lubis dan A. Latief Siregar

Menyoal masalah pemakaian gelar palsu


BEBERAPA waktu lalu Harian Umum Pos Kupang paling kurang tiga kali menyoroti fakta perdagangan gelar akademik. Yang menarik bahwa persoalan ini diangkat dan ditempatkan di halaman paling depan sebagai berita utama. Dengan demikian, permasalahan seputar perdagangan gelar akademik ini harus ditanggapi secara serius oleh pelbagai pihak yang terkait. Pertama, Pos Kupang Senin, 10 Maret 2003 memuat pernyataan Prof. Dr. August Benu di bawah judul besar "Pejabat Gunakan Gelar Palsu Tanpa Rasa Malu". Sorotan utama dalam pemberitaan ini adalah perilaku instan yang semakin melekat di kalangan masyarakat kita termasuk di bidang akademi dan kemasyarakatan. Malah yang sangat disayangkan adalah mewabahnya ‘penyakit’ pemakaian gelar palsu pada sejumlah kalangan pejabat pemerintah, yang nota bene gelar itu diperoleh tanpa mengindahkan kaidah-kaidah akademik, norma dan etika.
Dr. August Benu pun masih menyoroti permasalahan serupa (Pos Kupang Kamis, 13 Maret 2003). Kutipan pernyataannya: "Kita tidak perlu munafik, karena masyarakat sudah tahu, pejabat siapa yang gunakan gelar palsu itu. Pemerintah yang sesungguhnya punya kewajiban untuk menertibkan bawahannya". Memang dituntut kejujuran dan kerja keras pemerintah dalam hal ini, terutama untuk menerapkan aturan denda uang Rp 1 miliar atau hukuman pidana kurungan selama satu setengah tahun. Pernyataan Prof. Dr. August Benu di atas dipertegas lagi oleh P. Yohanes Bele, SVD dalam Pos Kupang, Jumat 14 Maret 2003. "Jika ada masyarakat yang menemukan pejabat atau anggota masyarakat lainnya menggunakan gelar palsu, maka masyarakat harus berani mengadukan hal itu ke polisi. Jangan masa bodoh." Pernyataan ini lebih menekankan kontrol masyarakat, jika ternyata pemerintah bersikap apatis terhadap persoalan ini, seperti yang ditunjukkan oleh sikap yang kurang serius dari Dirjen Pendidikan Tinggi.
Menelaah lebih jauh pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa di wilayah ini perdagangan gelar memang sedang marak berlangsung. Fenomen jual beli gelar bukan lagi sebatas ‘angan-angan’, melainkan telah dan sementara direalisasikan bahwa sudah sampai pada titik yang amat meresahkan. Tampak bahwa masyarakat kita sebetulnya sedang bergerak menuju kehancuran dalam aspek sumber daya manusia, khususnya di bidang akademik dan pendidikan. Apalagi kalau yang mempromotori gerakan kehancuran ini adalah pemerintah dan para politisi. Sungguh sangat disayangkan!
Kalau demikian kita lalu bertanya mengapa praktek jual beli gelar akademik itu begitu laris di pasaran? Berdasarkan pertanyaan- pertanyaan di atas ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan. Pertama, dengan gelar akademik tertentu status sosial seseorang akan lebih tinggi di tengah masyarakat yang sama-sama tidak mengerti. Alasan ini dianggap lebih cocok bagi mereka yang mau mencari kehormatan dan posisi tertentu dalam masyarakat. Anggota masyarakat yang cuma sedikit memahami atau sama sekali tidak mengerti gelar Dr. atau MA misalnya, mungkin akan begitu menghormati dan mengagumi mereka yang menyandang gelar itu, meskipun gelar itu palsu.
Kedua, untuk mendapat kenaikan pangkat atau jabatan di tempat kerja. Memang alasan ini mungkin tidak dialami atau berlaku pada semua institusi pemerintah. Ada juga institusi yang menolak. Akan tetapi kalau ada institusi negara yang menerima dan menerapkannya, sungguh sangat memalukan. Harus dikatakan bahwa pejabat pemerintah yang memanfaatkan gelar palsu untuk kenaikan pangkat dan jabatan adalah ‘perampok uang rakyat’. Karena mereka seenaknya menggunakan fasilitas dan kekayaan negara, yang nota bene adalah kepunyaan rakyat tanpa bersusah payah. Apalagi kalau ada institusi pemerintah yang mendukung dan menilep uang negara demi membeli gelar akademik bagi pejabat-pejabat tertentu. Jika demikian, ke mana negara dan rakyat akan dibawa, kalau pemerintahan kita dipimpin oleh orang-orang yang sama sekali tidak berkualitas dan tidak jujur seperti ini?
Ketiga, mereka yang menggunakan gelar palsu betul-betul tidak memahami arti pelbagai gelar akademik yang ada. Pengalaman ini diungkapkan oleh Wempie Pangkahila, ketika berjumpa dengan seorang pejabat yang melekatkan gelar profesor di depan namanya. Pada saat ditanya apakah ia pernah menjadi dosen atau pengajar di perguruan tinggi, dia mengatakan tidak pernah. Terungkap jelas bahwa orang tersebut tidak memahami arti gelar yang digunakannya. Sebab profesor itu bukan sebuah gelar akademik (Kompas, 16 November 2001).
Fakta-fakta di atas setidaknya menunjukkan bahwa sikap tegas pemerintah dan masyarakat untuk memberantas perdagangan gelar akademik ini terasa amat mendesak. Jika terus menerus ditolerir dan didiamkan, sudah pasti akan merusak dunia pendidikan, negara dan generasi muda kita. Beberapa dampak negatif itu bisa disebutkan di sini. Pertama, perdagangan gelar akademik akan sangat melecehkan hakikat pendidikan yang sebenarnya, secara khusus pendidikan tinggi untuk menghasilkan sarjana yang berkualitas dilanggar dan diinjak-injak. Padahal dari sarjana-sarjana yang berkualitas inilah diharapkan dapat membangun negara dan daerah ini. Bisa kita bayangkan situasi negara dan daerah kita, kalau hanya dijejali orang-orang yang sama sekali tidak memahami arti gelar yang tertulis di depan namanya. Kalau kita memang menghendaki negara dan daerah ini ‘porak-poranda’, maka cukuplah berkompromi dengan praktek jual beli gelar ini.
Kedua, praktek jual beli gelar akademik secara tidak langsung akan menanamkan persepsi yang keliru di kalangan generasi muda tentang gelar akademik. Generasi muda bisa saja berasumsi bahwa ternyata untuk menggondol gelar akademik tertentu tidak perlu harus menempuh pendidikan tinggi. Apalagi harus menghabiskan waktu sekian lama dan biaya pendidikan yang tidak sedikit. Menggiurkan memang! Ketiga, perdagangan ini telah mengacaukan profil kependudukan di negara dan daerah kita ini, secara khusus berkaitan dengan pendidikan dan sumber daya manusia. Profil kependudukan tentu tidak terlepas dari tersedianya sumber daya manusia yang tampak lewat kehadiran sarjana-sarjana yang berkualitas. Bagaimana kita bisa mengharapkan sarjana-sarjana dan manusia yang berkualitas dari mereka yang hanya menggondol gelar palsu seperti ini?
Keempat, perdagangan gelar akademik amat merugikan negara. Terutama kalau ada institusi pemerintah yang menerima anggota-anggota bergelar palsu. Lebih menyedihkan lagi, jika ada institusi yang bersedia menaikkan pangkat bagi mereka. Apalagi kalau gelar itu ternyata dibeli dengan menggunakan uang negara. Negara benar-benar dirugikan dan imbasnya justru akan dirasakan oleh masyarakat sendiri.
Kelima, dalam memasuki era globalisasi dan interaksi internasional dewasa ini, beberapa konsekuensi yang tidak ringan harus diemban oleh para cendekiawan dan kaum intelektual. Setiap mereka yang menggondol gelar akademik tertentu diharapkan bisa mengembangkan pemikiran dan perilaku yang sesuai dengan gelar akademik yang dimiliknya. Dan hal ini benar-benar tidak bisa diharapkan dari mereka yang menggunakan gelar palsu.
Menutup tulisan ini, penulis ingin menegaskan lagi bahwa perdagangan gelar akademik harus ditanggapi secara serius. Pejabat di setiap instansi negara perlu memeriksa keabsahan gelar akademik yang dipakai oleh anggotanya. Jika ada yang memakai gelar palsu selekasnya dipecat dan diusir. Akan tetapi kalau pejabat yang memeriksa keabsahan gelar itu ternyata juga terlibat dalam jual beli gelar palsu, kita mungkin hanya bisa mengharapkan mujizat dari Tuhan agar negara yang sudah terpuruk ini tidak lebih parah lagi kerusakannya. Paskalis Lina ]

Absurditas Pelarangan Parsel


SIKAP antiparsel benar-benar berlebih-lebihan. Tentu pula tidak masuk akal, kecuali dari sudut kelatahan.
Kiriman parsel dan karangan bunga telah secara tidak tepat dikaitkan dengan insting koruptif. Parsel dan karangan bunga telah dikutuk, seolah-olah sebagai tindak pidana, upaya cari muka, membujuk bahkan menyogok pejabat. Sikap absurd demikian ini mendekati budaya vulgar, gebyah uyah, bahkan mungkin munafik.
Seseorang seperti Mohammad Hatta, betapa pun Beliau sudah bukan lagi wakil presiden, pada setiap Idulfitri atau setiap berulang tahun, menerima kiriman parsel dan karangan bunga disertai kunjungan-kunjungan silaturahmi. Terhadap seorang seperti Mantan Presiden Soeharto, mantan gubernur Ali Sadikin, Jenderal A.H. Nasution, Jenderal M. Jusuf, Roeslan Abdulgani, Ibu Hartini Soekarno, Ibu Adam Malik, B.M. Diah, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Hasjim Ning, dan seterusnya, kiriman parsel dan bunga juga terjadi.
Bahkan terhadap keluarga saya, yang bukan pejabat, tidak memiliki kuasa perizinan dan daya jual komersial dalam birokrasi, begitu pula istri saya yang sekadar dosen universitas, toh menerima berbagai parsel dan karangan bunga pada Idulfitri, Tahun Baru, dan pada ulang-tahun kami, dari sahabat dan handai taulan. Ini adalah kemuliaan memelihara silaturahmi tanpa pamrih, bahkan ini adalah bagian dari kewajiban ber-ukhuwah dalam menunaikan tugas ber-hablum minannas. Say it with flower, say it with parsel adalah kekayaan batin bagi yang memahami makna indah little thing means a lot, to the dearests to the beloved ones.
**
KEBETULAN saja istri saya baru-baru ini diangkat menjadi pejabat. Haruskah sejak itu parsel, karangan bunga indah lalu distop dan ditolak. Artinya seorang pejabat harus dilucuti segi kehidupan pribadinya, harus dihabisi silaturahmi rutinnya, tidak ada lagi say it with flower karena ia diubah oleh jabatan birokrasi menjadi insan yang berinsting koruptif? Dengan kata lain, di Indonesia seseorang yang diangkat menjadi pejabat berarti dinobatkan sebagai "leviathan", monster koruptif, yang harus senantiasa dicurigai sebagai pengingkar-pengingkar sumpah jabatan, yang sekaligus mereduksi sumpah jabatan yang didiktekan Presiden (atau pejabat berwenang) sekadar sebagai acara seremonial. Padahal, presiden bukan jabatan seremonial. Mengapa pemberantasan korupsi besar-besaran yang memalukan bangsa ini direduksi menjadi sekadar pemberantasan parsel? Sekali lagi, berlebih-lebihlah absurditas semacam ini.
Dari contoh lain yang banyak misalnya, seorang Jos Soetomo, pengusaha kayu besar, mengirim bunga atas dilantiknya istri saya menjadi pejabat yang mengurusi pemberdayaan wanita, insting koruptifkah di balik kiriman bunga itu? Pak Harto dan Pak B.J. Habibie pun mengirimkan karangan bunga indah, Rektor UI mengirimkan ucapkan selamat plus parsel kecil, harus ditolakkah itu?
Tentu tidak diingkari bahwa beberapa di antara banyak parsel dan karangan bunga ada segi-segi cari muka dan mungkin mengharap "imbalan". Namun dapatkah sekadar parsel dan karangan bunga menaklukkan dan mendikte pejabat?
Sebaliknya kepada teman-teman kami pun hal sama seperti itu kami lakukan. Kami hadiahkan foto berbingkai hasil pemotretan kami sendiri kepada Pak Kharis Suhud, Pak Isnaeni, dan handai taulan lain. Kami kirim pohon buah-buahan langka hasil cangkokan dan pembibitan kami sendiri, tak terkecuali buku-buku karangan kami sendiri, rekaman-rekaman musik dalam CD dan DVD pada ultah mereka, pada Idulfitri, Natal, dan Tahun Baru, tanpa pamrih kecuali senang melihat orang lain berbahagia. Cari mukakah itu?
**
MOGA-MOGA kita tidak lupa tentang peraturan (kalau tidak salah dalam bentuk inpres) agar para pejabat dalam acara-acara pernikahan tidak mengundang lebih dari 500 tamu. Kita justru jor-joran, pameran kekayaan pejabat yang mantu tidak pernah surut, tamu undangan mencapai ribuan orang. Akibatnya memenuhi undangan pernikahan telah berubah menjadi "siksaan", para undangan harus bersabar antre, melebihi panjangnya antre sembako di masa sulit.
Haruskah parsel dan bunga dilarang, sedang perkawinan mewah, berikut kado-kado "tersembunyi"-nya (sponsorship sewa gedung dan catering) berjalan terus? Mereka bahkan tidak lagi suka menerima karangan bunga dan minta kado perkawinan sebaiknya dalam bentuk uang saja. "Kotak-kotak derma" berderet di sebelah buku-buku tamu. Amplop tebal dan tipis masuk ke situ, tidak dilarang dan tidak dikutuk seperti mengutuk parsel dan karangan bunga. Lebih dari itu, apakah pesta-pesta super mewah ini sesuai dengan besarnya pajak yang mereka bayar kepada negara?
**
MEMANG pengiriman parsel dan bunga tidak perlu berlebih-lebihan. Idulfitri, Natal, Imlek bukanlah tempat untuk jor-joran mengirim parsel dan karangan bunga. Budaya memberi kenangan sebagai tambatan hati, memelihara budaya manis "jauh di mata dekat di hati", budaya "think of you often" (jarang bertemu tapi senantiasa ingat), telah dibunuh begitu saja oleh birokrasi yang kurang memiliki innerlijke beschaving, jauh dari harkat civil society.
Bunga-bunga telah dilukis oleh para maestro besar, dari van Gogh sampai Men Sagan. Karangan-karangan bunga dirangkai oleh mereka yang bercita-rasa tinggi dan anggun, mampu mencipta membentuk keindahan subtil, untuk dipandang dan direnungi, sambil memuja kebesaran Illahi. Ini semua harus dilunturkan. Parsel dan karangan bunga dikirim ke kantor pejabat, menjadi pajangan murah di ruang-ruang kerja pejabat yang sibuk memangku kekuasaan, yang mungkin tidak mampu lagi berkontemplasi atau menjadi insan berbudaya.
"Larangan" mengirim parsel dan karangan bunga hendaknya dicabut. Lepas dari apa yang dikemukakan di atas, ini merupakan lahannya pedagang kecil dan para perajin. Tentunya kita mengajak untuk menghindari jor-joran dan mengatur isi parsel dan karangan bunga serba berwajah produk dalam negeri, lalu ada pula segi-segi kebanggaan nasionalnya. Jadikan parsel-parsel lebaran ini menjadi pameran produksi nasional.***
Penulis, Pemerhati Ekonomi dan Budaya. SRI-EDI SWASONO

Dagelan Kasus Korupsi Soeharto

Lagi! Indonesia disajikan sebuah dagelan dalam ruang kontemplasi miring yang bernama "Panggung Sandiwara" berlakon "Kemandegan Hukum". Tokoh utamanya tak jauh-jauh dari 3 tokoh sentral kerajaan. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan tentu saja sang Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono.
Tema mereka kali ini berkisar penentuan nasib seorang mantan diktator ulung negeri ini yang bernama Soeharto dengan kasus banyak praktek korupsi. Namun apa lacur, sang Jaksa Agung telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP), Mensesneg mengatakan akan menutup kasus si mbah yang sudah sepuh, sementara pak Presiden yang terhormat menyatakan akan mengendapkan kasus ini dengan alasan kemanusiaan.
Satu windu sudah kita menunggu akan kepastian hukum, keadilan masyarakat, pengembalian hak-hak rakyat dan bangsa Indonesia, tapi apa daya semua itu dijawab dalam sekejap melalui dialog ketiga tokoh yang berdiri di atas panggung dengan angkuhnya. Penonton pun hanya dapat melongo, tak bisa berkata, tak boleh protes.
Maka benarlah kata seorang Denny Indrayana, doktor termuda di UGM dengan gelar Ph.D di bidang Hukum yang juga bertindak sebagai ketua Indonesian Court Monitoring (ICM), bahwa hukum di Indonesia akan kehilangan nyali bila berhadapan dengan 4 hal: "Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga".
Delapan tahun sudah reformasi berjalan, tapi dimana hasilnya? Penegakan hukum yang juga sebagai tuntutan utama reformasi pun tidak pernah kelihatan. Atmosfer tebang pilih masih terus terasa begitu pekatnya di negara yang berjuluk 'negara (ter?)hukum' ini.
Ahh... barangkali pohon itu terlalu angker untuk ditebang. Dikeramatkan, mungkin. Maka tak pernah ada satu orang pun yang berani mengusiknya. Ada semacam kekhawatiran bila berani menyentuh pohon itu, bisa-bisa di-Munir-kan atau diarsenikkan. Satu hal yang 'lazim' digunakan oleh pemerintahan otoriter untuk membungkam mulut yang terlalu nyaring berbunyi.
Malah sekarang justru hukum itu sendiri yang jadi terdakwa! Atas dasar kemanusiaan, usianya yang sudah lanjut, tidak menghormati jasa-jasa pak Harto terhadap pembangunan bangsa ini, de-el-el, de-es-be, hukum digambarkan menjadi sebuah momok yang begitu menakutkan, otoriter, kejam, tak berperikemanusiaan, tak kenal jasa dan balas budi, lengkap dengan gigi taring dan wajah yang begitu seramnya.
Padahal, melalui hukumlah kewibawaan dan martabat kemanusiaan seseorang dapat dipulihkan. Tidak ada alasan apapun bagi aparat hukum untuk mengenyampingkan perkara hukum pak Harto. Toh beliau sudah punya (banyak) kuasa hukum. Kalaupun secara fisik tidak bisa menghadiri persidangan, dalam kamus hukum dikenal dengan istilah pengadilan in absentia. Artinya, seseorang dapat tidak menghadiri persidangan bila kondisinya memang tidak memungkinkan. Oleh karenanya, hak-haknya di hadapan pengadilan dapat diwakilkan oleh kuasa hukumnya.
Lagipula, beberapa saat sebelumnya bang Arman (panggilan 'mesra' Abdul Rahman Saleh) menyatakan semua berkas perkara terkait Soeharto (lengkap dengan gelar HM/Haji Muhammad-nya), telah siap dilimpahkan ke pengadilan.
Tapi apa yang terjadi sekarang? Kejaksaan begitu mudahnya dipermainkan. Masih ingatkah anda beberapa waktu lalu sumringahnya pak Harto masih sempat menghiasi berbagai halaman depan media massa saat menyambut kedatangan perdana menteri Malaysia? Malahan, tepat hanya beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, si mbah masih kuat untuk menjalani seluruh proses pernikahan sang cucu tercinta, Gendis. E-eeh... lha kok begitu Kejaksaan selesai nonton acara gosip dan berencana memanggil kembali si mbah, tiba-tiba berita kembali berbelok dengan tajuk 'operasi usus buntu'? Lutjunja...
Kalau memang mau mengembalikan kewibawaan seorang Soeharto, maka sepatutnya kasus ini jangan pernah dikesampingkan. Satu-satunya cara adalah dengan memberi kepastian hukum melalui proses pengadilan. Kasihan kan bila ada seorang warga negara yang hingga akhir hayatnya nanti statusnya di hadapan hukum masing menggantung tak jelas. Terus gelisah, tak tenang rasanya bila sudah sampai di alam kubur masih saja dibicarakan banyak orang (karena keburukannya(?)).
Toh kita semua sepakat korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, extraordinary crime, begitu yang kerap dikatakan SBY di berbagai seminar dan kotak televisi. TAP MPR XI/1998 belum lagi dicabut. Persamaan perlakuan di hadapan hukum juga masih menjadi prinsip di negara ini, tapi mengapa kasus ini begitu sulitnya diselesaikan?
Beginilah jadinya bila hukum selalu menjadi sub-ordinat sebuah praktik politik kekuasaan. Segalanya selalu musti lewat restu sang Raja. Bila sang Raja memang benar-benar seorang penyelamat yang diturunkan Tuhan kepada rakyatnya, sudah semestinya SBY menegaskan kembali penegakkan kasus ini bukan sekedar mengedepankannya.
Sangat mudah sebenarnya kasus ini untuk diselesaikan. Toh disekitarnya banyak penasihat kerajaan yang bergelar Profesor Hukum.
Aiiih.... saya lupa! Lha wong si profesor ini juga terlibat dalam dagelan ini kok! Ssstt... bukannya si lulusan UI ini pendukung setia pak Harto saat berkuasa dulu? Dia kan yang bikin teks pidato kenegaraan si mbah. Trus, sewaktu gonjang-ganjing reformasi, malah sikapnya berubah 180°! Dia tho yang menyusun draft pelengseran itu? Oalaah... lagi-lagi sekarang malah dia bikin surat sakti pengampunannya! Aneh bin ajaib! Pandai sekali mencari celah untuk bertahan hidup. Prinsip 3M kata Aa Napi: Menjilat, Menjatuhkan, Mengampuni.
Siapa sih?! Sstt.. jangan bilang-bilang lho.. denger-denger sih inisialnya YIM. Hebatnya, sampai sekarang dia masih pegang tampuk pimpinan partai Islam! "Bulan... cahayanya menawan, menerangi kegelapan malam... Oh, Bintang... sinarnya berkelipan, menghiasi anugrah yang indah.." begitu lirik nasyid Saujana yang bisa mengingatkan saya akan partai ini.
Jangan pernah menyelesaikan perkara hukum, lebih-lebih kasus korupsi, melalui jalur politik. Aduuuh... bisa mati negeri awak! Kalau itu yang terjadi, tak ada lagi orang yang takut untuk korupsi. Lebih-lebih orang dekat sang Raja (atau memang sengaja dibuat demikian?). Bila tertangkap tangan, toh tinggal minta surat sakti pengampunan. "Equality of Law!" Gitu alasan mereka. (Gundulmu!)
Hebat ya... seorang lansia mampu menggegerkan negara besar ini. Empat kepala negara yang didukung 200 juta lebih rakyat negeri ini, tak mampu (atau tak mau?) berkutik. Terlalu sibuk bagi-bagi kue ekonomi sepertinya.
Tapi tenang... kita masih punya harapan, dagelan belumlah usai. Sang tokoh masih ada di atas panggung, melantunkan sisa-sisa dialog mereka. Kita berharap semoga di akhir cerita ada sesuatu yang menggembirakan, happy ending buat negara ini. Berharap uang rakyat bisa dikembalikan, sehingga kita tak perlu lagi sampai mencium tangan saat Amerika menyalurkan bantuan untuk pengungsi Merapi yang cuma US$ 100.000;. Jumlahnya jauh lebih besar dari itu. Ratusan, bahkan ribuan kali lipat! Cukuplah untuk membenahi Istana Negara sehingga tak lagi kebanjiran saat hujan tiba. Sisanya masih bisa digunakan untuk membenahi ribuan sekolah yang ambruk, kalau perlu Monas dilapisi emas sekalian.
Semoga harapan tidak sekedar harapan. Kalau itu yang terjadi, jangan salahkan penonton menghujat dan melempari sang tokoh, memaksanya turun dari panggung lantaran tak dapat memainkan perannya dengan baik. Kalau sudah begitu, akankah Tragedi Mei '98 berulang kembali? Janganlah..

Sebagai Sebuah Refleksi Sejarah 20 Mei 1998
Djogja, Saturday, May 20, 2006 @ 12:00 am
Posted by Rara @ 05/21/2006 11:59 PM PDT