Anti Partai Anti Kemunafikan

Monday, April 30, 2007

Absurditas Pelarangan Parsel


SIKAP antiparsel benar-benar berlebih-lebihan. Tentu pula tidak masuk akal, kecuali dari sudut kelatahan.
Kiriman parsel dan karangan bunga telah secara tidak tepat dikaitkan dengan insting koruptif. Parsel dan karangan bunga telah dikutuk, seolah-olah sebagai tindak pidana, upaya cari muka, membujuk bahkan menyogok pejabat. Sikap absurd demikian ini mendekati budaya vulgar, gebyah uyah, bahkan mungkin munafik.
Seseorang seperti Mohammad Hatta, betapa pun Beliau sudah bukan lagi wakil presiden, pada setiap Idulfitri atau setiap berulang tahun, menerima kiriman parsel dan karangan bunga disertai kunjungan-kunjungan silaturahmi. Terhadap seorang seperti Mantan Presiden Soeharto, mantan gubernur Ali Sadikin, Jenderal A.H. Nasution, Jenderal M. Jusuf, Roeslan Abdulgani, Ibu Hartini Soekarno, Ibu Adam Malik, B.M. Diah, Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, Hasjim Ning, dan seterusnya, kiriman parsel dan bunga juga terjadi.
Bahkan terhadap keluarga saya, yang bukan pejabat, tidak memiliki kuasa perizinan dan daya jual komersial dalam birokrasi, begitu pula istri saya yang sekadar dosen universitas, toh menerima berbagai parsel dan karangan bunga pada Idulfitri, Tahun Baru, dan pada ulang-tahun kami, dari sahabat dan handai taulan. Ini adalah kemuliaan memelihara silaturahmi tanpa pamrih, bahkan ini adalah bagian dari kewajiban ber-ukhuwah dalam menunaikan tugas ber-hablum minannas. Say it with flower, say it with parsel adalah kekayaan batin bagi yang memahami makna indah little thing means a lot, to the dearests to the beloved ones.
**
KEBETULAN saja istri saya baru-baru ini diangkat menjadi pejabat. Haruskah sejak itu parsel, karangan bunga indah lalu distop dan ditolak. Artinya seorang pejabat harus dilucuti segi kehidupan pribadinya, harus dihabisi silaturahmi rutinnya, tidak ada lagi say it with flower karena ia diubah oleh jabatan birokrasi menjadi insan yang berinsting koruptif? Dengan kata lain, di Indonesia seseorang yang diangkat menjadi pejabat berarti dinobatkan sebagai "leviathan", monster koruptif, yang harus senantiasa dicurigai sebagai pengingkar-pengingkar sumpah jabatan, yang sekaligus mereduksi sumpah jabatan yang didiktekan Presiden (atau pejabat berwenang) sekadar sebagai acara seremonial. Padahal, presiden bukan jabatan seremonial. Mengapa pemberantasan korupsi besar-besaran yang memalukan bangsa ini direduksi menjadi sekadar pemberantasan parsel? Sekali lagi, berlebih-lebihlah absurditas semacam ini.
Dari contoh lain yang banyak misalnya, seorang Jos Soetomo, pengusaha kayu besar, mengirim bunga atas dilantiknya istri saya menjadi pejabat yang mengurusi pemberdayaan wanita, insting koruptifkah di balik kiriman bunga itu? Pak Harto dan Pak B.J. Habibie pun mengirimkan karangan bunga indah, Rektor UI mengirimkan ucapkan selamat plus parsel kecil, harus ditolakkah itu?
Tentu tidak diingkari bahwa beberapa di antara banyak parsel dan karangan bunga ada segi-segi cari muka dan mungkin mengharap "imbalan". Namun dapatkah sekadar parsel dan karangan bunga menaklukkan dan mendikte pejabat?
Sebaliknya kepada teman-teman kami pun hal sama seperti itu kami lakukan. Kami hadiahkan foto berbingkai hasil pemotretan kami sendiri kepada Pak Kharis Suhud, Pak Isnaeni, dan handai taulan lain. Kami kirim pohon buah-buahan langka hasil cangkokan dan pembibitan kami sendiri, tak terkecuali buku-buku karangan kami sendiri, rekaman-rekaman musik dalam CD dan DVD pada ultah mereka, pada Idulfitri, Natal, dan Tahun Baru, tanpa pamrih kecuali senang melihat orang lain berbahagia. Cari mukakah itu?
**
MOGA-MOGA kita tidak lupa tentang peraturan (kalau tidak salah dalam bentuk inpres) agar para pejabat dalam acara-acara pernikahan tidak mengundang lebih dari 500 tamu. Kita justru jor-joran, pameran kekayaan pejabat yang mantu tidak pernah surut, tamu undangan mencapai ribuan orang. Akibatnya memenuhi undangan pernikahan telah berubah menjadi "siksaan", para undangan harus bersabar antre, melebihi panjangnya antre sembako di masa sulit.
Haruskah parsel dan bunga dilarang, sedang perkawinan mewah, berikut kado-kado "tersembunyi"-nya (sponsorship sewa gedung dan catering) berjalan terus? Mereka bahkan tidak lagi suka menerima karangan bunga dan minta kado perkawinan sebaiknya dalam bentuk uang saja. "Kotak-kotak derma" berderet di sebelah buku-buku tamu. Amplop tebal dan tipis masuk ke situ, tidak dilarang dan tidak dikutuk seperti mengutuk parsel dan karangan bunga. Lebih dari itu, apakah pesta-pesta super mewah ini sesuai dengan besarnya pajak yang mereka bayar kepada negara?
**
MEMANG pengiriman parsel dan bunga tidak perlu berlebih-lebihan. Idulfitri, Natal, Imlek bukanlah tempat untuk jor-joran mengirim parsel dan karangan bunga. Budaya memberi kenangan sebagai tambatan hati, memelihara budaya manis "jauh di mata dekat di hati", budaya "think of you often" (jarang bertemu tapi senantiasa ingat), telah dibunuh begitu saja oleh birokrasi yang kurang memiliki innerlijke beschaving, jauh dari harkat civil society.
Bunga-bunga telah dilukis oleh para maestro besar, dari van Gogh sampai Men Sagan. Karangan-karangan bunga dirangkai oleh mereka yang bercita-rasa tinggi dan anggun, mampu mencipta membentuk keindahan subtil, untuk dipandang dan direnungi, sambil memuja kebesaran Illahi. Ini semua harus dilunturkan. Parsel dan karangan bunga dikirim ke kantor pejabat, menjadi pajangan murah di ruang-ruang kerja pejabat yang sibuk memangku kekuasaan, yang mungkin tidak mampu lagi berkontemplasi atau menjadi insan berbudaya.
"Larangan" mengirim parsel dan karangan bunga hendaknya dicabut. Lepas dari apa yang dikemukakan di atas, ini merupakan lahannya pedagang kecil dan para perajin. Tentunya kita mengajak untuk menghindari jor-joran dan mengatur isi parsel dan karangan bunga serba berwajah produk dalam negeri, lalu ada pula segi-segi kebanggaan nasionalnya. Jadikan parsel-parsel lebaran ini menjadi pameran produksi nasional.***
Penulis, Pemerhati Ekonomi dan Budaya. SRI-EDI SWASONO

No comments: