Anti Partai Anti Kemunafikan

Monday, April 30, 2007

Dagelan Kasus Korupsi Soeharto

Lagi! Indonesia disajikan sebuah dagelan dalam ruang kontemplasi miring yang bernama "Panggung Sandiwara" berlakon "Kemandegan Hukum". Tokoh utamanya tak jauh-jauh dari 3 tokoh sentral kerajaan. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan tentu saja sang Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono.
Tema mereka kali ini berkisar penentuan nasib seorang mantan diktator ulung negeri ini yang bernama Soeharto dengan kasus banyak praktek korupsi. Namun apa lacur, sang Jaksa Agung telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP), Mensesneg mengatakan akan menutup kasus si mbah yang sudah sepuh, sementara pak Presiden yang terhormat menyatakan akan mengendapkan kasus ini dengan alasan kemanusiaan.
Satu windu sudah kita menunggu akan kepastian hukum, keadilan masyarakat, pengembalian hak-hak rakyat dan bangsa Indonesia, tapi apa daya semua itu dijawab dalam sekejap melalui dialog ketiga tokoh yang berdiri di atas panggung dengan angkuhnya. Penonton pun hanya dapat melongo, tak bisa berkata, tak boleh protes.
Maka benarlah kata seorang Denny Indrayana, doktor termuda di UGM dengan gelar Ph.D di bidang Hukum yang juga bertindak sebagai ketua Indonesian Court Monitoring (ICM), bahwa hukum di Indonesia akan kehilangan nyali bila berhadapan dengan 4 hal: "Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga".
Delapan tahun sudah reformasi berjalan, tapi dimana hasilnya? Penegakan hukum yang juga sebagai tuntutan utama reformasi pun tidak pernah kelihatan. Atmosfer tebang pilih masih terus terasa begitu pekatnya di negara yang berjuluk 'negara (ter?)hukum' ini.
Ahh... barangkali pohon itu terlalu angker untuk ditebang. Dikeramatkan, mungkin. Maka tak pernah ada satu orang pun yang berani mengusiknya. Ada semacam kekhawatiran bila berani menyentuh pohon itu, bisa-bisa di-Munir-kan atau diarsenikkan. Satu hal yang 'lazim' digunakan oleh pemerintahan otoriter untuk membungkam mulut yang terlalu nyaring berbunyi.
Malah sekarang justru hukum itu sendiri yang jadi terdakwa! Atas dasar kemanusiaan, usianya yang sudah lanjut, tidak menghormati jasa-jasa pak Harto terhadap pembangunan bangsa ini, de-el-el, de-es-be, hukum digambarkan menjadi sebuah momok yang begitu menakutkan, otoriter, kejam, tak berperikemanusiaan, tak kenal jasa dan balas budi, lengkap dengan gigi taring dan wajah yang begitu seramnya.
Padahal, melalui hukumlah kewibawaan dan martabat kemanusiaan seseorang dapat dipulihkan. Tidak ada alasan apapun bagi aparat hukum untuk mengenyampingkan perkara hukum pak Harto. Toh beliau sudah punya (banyak) kuasa hukum. Kalaupun secara fisik tidak bisa menghadiri persidangan, dalam kamus hukum dikenal dengan istilah pengadilan in absentia. Artinya, seseorang dapat tidak menghadiri persidangan bila kondisinya memang tidak memungkinkan. Oleh karenanya, hak-haknya di hadapan pengadilan dapat diwakilkan oleh kuasa hukumnya.
Lagipula, beberapa saat sebelumnya bang Arman (panggilan 'mesra' Abdul Rahman Saleh) menyatakan semua berkas perkara terkait Soeharto (lengkap dengan gelar HM/Haji Muhammad-nya), telah siap dilimpahkan ke pengadilan.
Tapi apa yang terjadi sekarang? Kejaksaan begitu mudahnya dipermainkan. Masih ingatkah anda beberapa waktu lalu sumringahnya pak Harto masih sempat menghiasi berbagai halaman depan media massa saat menyambut kedatangan perdana menteri Malaysia? Malahan, tepat hanya beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, si mbah masih kuat untuk menjalani seluruh proses pernikahan sang cucu tercinta, Gendis. E-eeh... lha kok begitu Kejaksaan selesai nonton acara gosip dan berencana memanggil kembali si mbah, tiba-tiba berita kembali berbelok dengan tajuk 'operasi usus buntu'? Lutjunja...
Kalau memang mau mengembalikan kewibawaan seorang Soeharto, maka sepatutnya kasus ini jangan pernah dikesampingkan. Satu-satunya cara adalah dengan memberi kepastian hukum melalui proses pengadilan. Kasihan kan bila ada seorang warga negara yang hingga akhir hayatnya nanti statusnya di hadapan hukum masing menggantung tak jelas. Terus gelisah, tak tenang rasanya bila sudah sampai di alam kubur masih saja dibicarakan banyak orang (karena keburukannya(?)).
Toh kita semua sepakat korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, extraordinary crime, begitu yang kerap dikatakan SBY di berbagai seminar dan kotak televisi. TAP MPR XI/1998 belum lagi dicabut. Persamaan perlakuan di hadapan hukum juga masih menjadi prinsip di negara ini, tapi mengapa kasus ini begitu sulitnya diselesaikan?
Beginilah jadinya bila hukum selalu menjadi sub-ordinat sebuah praktik politik kekuasaan. Segalanya selalu musti lewat restu sang Raja. Bila sang Raja memang benar-benar seorang penyelamat yang diturunkan Tuhan kepada rakyatnya, sudah semestinya SBY menegaskan kembali penegakkan kasus ini bukan sekedar mengedepankannya.
Sangat mudah sebenarnya kasus ini untuk diselesaikan. Toh disekitarnya banyak penasihat kerajaan yang bergelar Profesor Hukum.
Aiiih.... saya lupa! Lha wong si profesor ini juga terlibat dalam dagelan ini kok! Ssstt... bukannya si lulusan UI ini pendukung setia pak Harto saat berkuasa dulu? Dia kan yang bikin teks pidato kenegaraan si mbah. Trus, sewaktu gonjang-ganjing reformasi, malah sikapnya berubah 180°! Dia tho yang menyusun draft pelengseran itu? Oalaah... lagi-lagi sekarang malah dia bikin surat sakti pengampunannya! Aneh bin ajaib! Pandai sekali mencari celah untuk bertahan hidup. Prinsip 3M kata Aa Napi: Menjilat, Menjatuhkan, Mengampuni.
Siapa sih?! Sstt.. jangan bilang-bilang lho.. denger-denger sih inisialnya YIM. Hebatnya, sampai sekarang dia masih pegang tampuk pimpinan partai Islam! "Bulan... cahayanya menawan, menerangi kegelapan malam... Oh, Bintang... sinarnya berkelipan, menghiasi anugrah yang indah.." begitu lirik nasyid Saujana yang bisa mengingatkan saya akan partai ini.
Jangan pernah menyelesaikan perkara hukum, lebih-lebih kasus korupsi, melalui jalur politik. Aduuuh... bisa mati negeri awak! Kalau itu yang terjadi, tak ada lagi orang yang takut untuk korupsi. Lebih-lebih orang dekat sang Raja (atau memang sengaja dibuat demikian?). Bila tertangkap tangan, toh tinggal minta surat sakti pengampunan. "Equality of Law!" Gitu alasan mereka. (Gundulmu!)
Hebat ya... seorang lansia mampu menggegerkan negara besar ini. Empat kepala negara yang didukung 200 juta lebih rakyat negeri ini, tak mampu (atau tak mau?) berkutik. Terlalu sibuk bagi-bagi kue ekonomi sepertinya.
Tapi tenang... kita masih punya harapan, dagelan belumlah usai. Sang tokoh masih ada di atas panggung, melantunkan sisa-sisa dialog mereka. Kita berharap semoga di akhir cerita ada sesuatu yang menggembirakan, happy ending buat negara ini. Berharap uang rakyat bisa dikembalikan, sehingga kita tak perlu lagi sampai mencium tangan saat Amerika menyalurkan bantuan untuk pengungsi Merapi yang cuma US$ 100.000;. Jumlahnya jauh lebih besar dari itu. Ratusan, bahkan ribuan kali lipat! Cukuplah untuk membenahi Istana Negara sehingga tak lagi kebanjiran saat hujan tiba. Sisanya masih bisa digunakan untuk membenahi ribuan sekolah yang ambruk, kalau perlu Monas dilapisi emas sekalian.
Semoga harapan tidak sekedar harapan. Kalau itu yang terjadi, jangan salahkan penonton menghujat dan melempari sang tokoh, memaksanya turun dari panggung lantaran tak dapat memainkan perannya dengan baik. Kalau sudah begitu, akankah Tragedi Mei '98 berulang kembali? Janganlah..

Sebagai Sebuah Refleksi Sejarah 20 Mei 1998
Djogja, Saturday, May 20, 2006 @ 12:00 am
Posted by Rara @ 05/21/2006 11:59 PM PDT

No comments: