Anti Partai Anti Kemunafikan

Monday, April 30, 2007

Menyoal masalah pemakaian gelar palsu


BEBERAPA waktu lalu Harian Umum Pos Kupang paling kurang tiga kali menyoroti fakta perdagangan gelar akademik. Yang menarik bahwa persoalan ini diangkat dan ditempatkan di halaman paling depan sebagai berita utama. Dengan demikian, permasalahan seputar perdagangan gelar akademik ini harus ditanggapi secara serius oleh pelbagai pihak yang terkait. Pertama, Pos Kupang Senin, 10 Maret 2003 memuat pernyataan Prof. Dr. August Benu di bawah judul besar "Pejabat Gunakan Gelar Palsu Tanpa Rasa Malu". Sorotan utama dalam pemberitaan ini adalah perilaku instan yang semakin melekat di kalangan masyarakat kita termasuk di bidang akademi dan kemasyarakatan. Malah yang sangat disayangkan adalah mewabahnya ‘penyakit’ pemakaian gelar palsu pada sejumlah kalangan pejabat pemerintah, yang nota bene gelar itu diperoleh tanpa mengindahkan kaidah-kaidah akademik, norma dan etika.
Dr. August Benu pun masih menyoroti permasalahan serupa (Pos Kupang Kamis, 13 Maret 2003). Kutipan pernyataannya: "Kita tidak perlu munafik, karena masyarakat sudah tahu, pejabat siapa yang gunakan gelar palsu itu. Pemerintah yang sesungguhnya punya kewajiban untuk menertibkan bawahannya". Memang dituntut kejujuran dan kerja keras pemerintah dalam hal ini, terutama untuk menerapkan aturan denda uang Rp 1 miliar atau hukuman pidana kurungan selama satu setengah tahun. Pernyataan Prof. Dr. August Benu di atas dipertegas lagi oleh P. Yohanes Bele, SVD dalam Pos Kupang, Jumat 14 Maret 2003. "Jika ada masyarakat yang menemukan pejabat atau anggota masyarakat lainnya menggunakan gelar palsu, maka masyarakat harus berani mengadukan hal itu ke polisi. Jangan masa bodoh." Pernyataan ini lebih menekankan kontrol masyarakat, jika ternyata pemerintah bersikap apatis terhadap persoalan ini, seperti yang ditunjukkan oleh sikap yang kurang serius dari Dirjen Pendidikan Tinggi.
Menelaah lebih jauh pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa di wilayah ini perdagangan gelar memang sedang marak berlangsung. Fenomen jual beli gelar bukan lagi sebatas ‘angan-angan’, melainkan telah dan sementara direalisasikan bahwa sudah sampai pada titik yang amat meresahkan. Tampak bahwa masyarakat kita sebetulnya sedang bergerak menuju kehancuran dalam aspek sumber daya manusia, khususnya di bidang akademik dan pendidikan. Apalagi kalau yang mempromotori gerakan kehancuran ini adalah pemerintah dan para politisi. Sungguh sangat disayangkan!
Kalau demikian kita lalu bertanya mengapa praktek jual beli gelar akademik itu begitu laris di pasaran? Berdasarkan pertanyaan- pertanyaan di atas ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan. Pertama, dengan gelar akademik tertentu status sosial seseorang akan lebih tinggi di tengah masyarakat yang sama-sama tidak mengerti. Alasan ini dianggap lebih cocok bagi mereka yang mau mencari kehormatan dan posisi tertentu dalam masyarakat. Anggota masyarakat yang cuma sedikit memahami atau sama sekali tidak mengerti gelar Dr. atau MA misalnya, mungkin akan begitu menghormati dan mengagumi mereka yang menyandang gelar itu, meskipun gelar itu palsu.
Kedua, untuk mendapat kenaikan pangkat atau jabatan di tempat kerja. Memang alasan ini mungkin tidak dialami atau berlaku pada semua institusi pemerintah. Ada juga institusi yang menolak. Akan tetapi kalau ada institusi negara yang menerima dan menerapkannya, sungguh sangat memalukan. Harus dikatakan bahwa pejabat pemerintah yang memanfaatkan gelar palsu untuk kenaikan pangkat dan jabatan adalah ‘perampok uang rakyat’. Karena mereka seenaknya menggunakan fasilitas dan kekayaan negara, yang nota bene adalah kepunyaan rakyat tanpa bersusah payah. Apalagi kalau ada institusi pemerintah yang mendukung dan menilep uang negara demi membeli gelar akademik bagi pejabat-pejabat tertentu. Jika demikian, ke mana negara dan rakyat akan dibawa, kalau pemerintahan kita dipimpin oleh orang-orang yang sama sekali tidak berkualitas dan tidak jujur seperti ini?
Ketiga, mereka yang menggunakan gelar palsu betul-betul tidak memahami arti pelbagai gelar akademik yang ada. Pengalaman ini diungkapkan oleh Wempie Pangkahila, ketika berjumpa dengan seorang pejabat yang melekatkan gelar profesor di depan namanya. Pada saat ditanya apakah ia pernah menjadi dosen atau pengajar di perguruan tinggi, dia mengatakan tidak pernah. Terungkap jelas bahwa orang tersebut tidak memahami arti gelar yang digunakannya. Sebab profesor itu bukan sebuah gelar akademik (Kompas, 16 November 2001).
Fakta-fakta di atas setidaknya menunjukkan bahwa sikap tegas pemerintah dan masyarakat untuk memberantas perdagangan gelar akademik ini terasa amat mendesak. Jika terus menerus ditolerir dan didiamkan, sudah pasti akan merusak dunia pendidikan, negara dan generasi muda kita. Beberapa dampak negatif itu bisa disebutkan di sini. Pertama, perdagangan gelar akademik akan sangat melecehkan hakikat pendidikan yang sebenarnya, secara khusus pendidikan tinggi untuk menghasilkan sarjana yang berkualitas dilanggar dan diinjak-injak. Padahal dari sarjana-sarjana yang berkualitas inilah diharapkan dapat membangun negara dan daerah ini. Bisa kita bayangkan situasi negara dan daerah kita, kalau hanya dijejali orang-orang yang sama sekali tidak memahami arti gelar yang tertulis di depan namanya. Kalau kita memang menghendaki negara dan daerah ini ‘porak-poranda’, maka cukuplah berkompromi dengan praktek jual beli gelar ini.
Kedua, praktek jual beli gelar akademik secara tidak langsung akan menanamkan persepsi yang keliru di kalangan generasi muda tentang gelar akademik. Generasi muda bisa saja berasumsi bahwa ternyata untuk menggondol gelar akademik tertentu tidak perlu harus menempuh pendidikan tinggi. Apalagi harus menghabiskan waktu sekian lama dan biaya pendidikan yang tidak sedikit. Menggiurkan memang! Ketiga, perdagangan ini telah mengacaukan profil kependudukan di negara dan daerah kita ini, secara khusus berkaitan dengan pendidikan dan sumber daya manusia. Profil kependudukan tentu tidak terlepas dari tersedianya sumber daya manusia yang tampak lewat kehadiran sarjana-sarjana yang berkualitas. Bagaimana kita bisa mengharapkan sarjana-sarjana dan manusia yang berkualitas dari mereka yang hanya menggondol gelar palsu seperti ini?
Keempat, perdagangan gelar akademik amat merugikan negara. Terutama kalau ada institusi pemerintah yang menerima anggota-anggota bergelar palsu. Lebih menyedihkan lagi, jika ada institusi yang bersedia menaikkan pangkat bagi mereka. Apalagi kalau gelar itu ternyata dibeli dengan menggunakan uang negara. Negara benar-benar dirugikan dan imbasnya justru akan dirasakan oleh masyarakat sendiri.
Kelima, dalam memasuki era globalisasi dan interaksi internasional dewasa ini, beberapa konsekuensi yang tidak ringan harus diemban oleh para cendekiawan dan kaum intelektual. Setiap mereka yang menggondol gelar akademik tertentu diharapkan bisa mengembangkan pemikiran dan perilaku yang sesuai dengan gelar akademik yang dimiliknya. Dan hal ini benar-benar tidak bisa diharapkan dari mereka yang menggunakan gelar palsu.
Menutup tulisan ini, penulis ingin menegaskan lagi bahwa perdagangan gelar akademik harus ditanggapi secara serius. Pejabat di setiap instansi negara perlu memeriksa keabsahan gelar akademik yang dipakai oleh anggotanya. Jika ada yang memakai gelar palsu selekasnya dipecat dan diusir. Akan tetapi kalau pejabat yang memeriksa keabsahan gelar itu ternyata juga terlibat dalam jual beli gelar palsu, kita mungkin hanya bisa mengharapkan mujizat dari Tuhan agar negara yang sudah terpuruk ini tidak lebih parah lagi kerusakannya. Paskalis Lina ]

No comments: