Anti Partai Anti Kemunafikan

Monday, April 30, 2007

Seniman Berpartai Bukan Makhluk Suci


Orde Baru longsor. Zaman baru datang. Seniman dan artis pun berbondong-bondong masuk dunia politik. Apa bedanya dengan Lekra-PKI?
PRAMOEDYA Ananta Toer yang sudah tua, agak pekak, memakai surjan, kemeja tradisional Jawa berwarna abu-abu. Ia tampak segar. "Tapi, ia tak mau pakai dasi," kata Maemunah, istri yang dicintai Pramoedya, seperti disyiarkan Radio Nederland, Jumat pekan silam. Padahal, novelis Indonesia tersohor, dan kini menjadi anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), muncul di New York, jantung kapitalisme dunia. Bekas anggota Lekra, mantel kebudayaan bekas Partai Komunis Indonesia (PKI), itu menjadi tamu bergengsi dari Asia Society, New York, seraya memperkenalkan edisi Inggris novelnya yang bertajuk Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Goenawan Mohamad (GM), tampil pula memaparkan apresiasinya terhadap Pram, nama akrab Pramoedya. Agar tahu saja, GM dulu adalah salah seorang pendiri Manifesto Kebudayaan, yang diganyang oleh Pram dan kawan-kawannya di Lekra pada masa Orde Lama.
Sementara itu, di Jakarta, sastrawan Ikranagara tengah menulis cerita pendek di rumahnya di kawasan Tebet, Sabtu malam, pekan silam. Seperti Pram, Ikra --begitu seniman asal Singaraja, Bali, ini dipanggil-- kepada Ari Sutanti dari Gamma mengaku bahwa ia malah duduk sebagai Ketua Departemen Kebudayaan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin Amien Rais. Ikra pun pada masa Orde Lama adalah pendukung Manifesto Kebudayaan. Bahkan, sejumlah koleksi buku seninya, seperti karangan H.B. Yassin, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, dan Boris Pasternak, digeledah dan dirampas orang-orang Lekra dari rumah orangtuanya di Singaraja, di penghujung akan runtuhnya Orde Lama.
Zaman memang telah berubah. PKI telah lama ditenggelamkan sejarah. Bahkan, Orde Baru pun telah terkubur. Ketika zaman baru datang, era reformasi, sistem multipartai muncul. Para seniman dan artis yang dulu berduyun-duyun dikooptasi Golongan Karya (Golkar) kini bebas menentukan pilihan. Bahkan, itu tadi: Pram, yang dulu tak ikut memilih, kini boleh masuk PRD dipimpin Budiman Sudjatmiko, yang masih dalam penjara.
Tengoklah, sejumlah artis kini berani jadi anggota partai nonpartai Golkar. Ada Wanda Hamidah, model dan artis sinetron, yang masuk PAN. Mieke Wijaya, pemeran Bu Broto dalam sinetron seri Losmen jadi Ketua Departemen Seni & Budaya Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Penyanyi Hetty Koes Endang masuk Partai kebangkitan Bangsa (PKB). Meskipun, artis Yoseano Waas, Renny Djajoesman, dan penyanyi dangdut Machica Mochtar tetap saja bertahan di Partai Golkar (Lihat: "Di Zaman Baru Mereka Tak Cuma Goyang Pinggul"). Dan, sejumlah seniman maupun artis lainnya yang terlalu panjang untuk disebutkan satu per satu.
Nah, misalkan Pram, Ikra, Yoseano dan Mieke nanti jadi calon anggota legislatif, dan berhasil menjadi anggota DPR, sekaligus anggota MPR, maka orang semacam mereka semakin bulat menjadi seniman partai. Tapi tentu saja mereka berbeda dengan para seniman yang terpilih menjadi utusan golongan mewakili seniman, budayawan, cendekiawan, dan ilmuwan sebanyak sembilan orang di MPR. Seperti diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis pekan lalu, ada sembilan golongan, seperti agama, LSM, pemuda, mahasiswa, seniman, etnik minoritas, penyandang cacat, pegawai negeri, veteran, dan ekonomi lemah, ditetapkan sebagai utusan golongan, semuanya berjumlah 65 orang.
Utusan golongan budayawan dan seniman ini penting, karena selama ini banyak seniman yang alergi kepada proses politik yang mengakibatkan aspirasi mereka tak terwakili. Sebutlah, dramawan kondang Rendra selama ini selalu independen, dan "berumah di atas angin". "Sekarang kita ingin seniman yang berpikiran merdeka dan tidak boleh ada kaitannya dengan partai politik," kata Andi Alfian Malarangeng, anggota KPU, Sabtu pekan lalu, kepada Taufik Rinaldi dari Gamma. Nah, makin jelaslah di masa depan akan ada dua kategori seniman dalam terminologi politik. Yakni, seniman partai, semacam Ikra dan Pram, dan golongan seniman versi KPU tersebut.
Tapi, kepala Andi jadi pusing bila ditanya siapa seniman dan budayawan yang berhak menjadi utusan golongan di MPR. Organisasi mana pula yang berhak memutuskannya. "Kita tidak tahu, belum dirumuskan," kata Andi. Tapi kemudian, Andi bertutur kira-kira begini: KPU akan mengusulkan organisasi seniman yang dipertimbangkan untuk menyusun wakilnya di MPR, lalu KPU akan membahasnya. Wah, tetap saja masih kabur.
Pertanyaan bertubi-tubi pun terdengar dari Dr. Salim Said, bekas Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Bila pemerintah yang menentukannya, itu kan sama saja dengan Orde Baru? Bila dewan kesenian yang menetapkannya, apakah otoritas institusi itu diakui semua seniman? Bila sesama seniman yang menetapkannya, apa pula kriterianya? Apakah harus seniman yang punya adikarya, adiluhung? Bila itu parameternya, apakah seniman macam itu "qualified" untuk urusan politik di MPR? "Jangan-jangan pula seniman bersangkutan tak tertarik," kata Salim kepada Gamma.
Salim bahkan menyoal di zaman baru ketika sudah ada 48 partai, apakah konsep utusan golongan itu masih relevan? Memang, sistem perutusan golongan ini sudah ada sejak 1950-an di masa demokrasi parlementer. Tapi, implementasinya hingga sekarang tak pernah betul. "Ingat, di zaman Orde Baru, jangankan utusan golongan, utusan partai pun mestilah yang disenangi pemerintah," kata Salim. Anggota MPR ini malah menuding konsep dasar utusan golongan itu adalah akal-akalan pemerintah untuk mengecilkan peranan partai.
Harry Roesli, seniman eksentrik dari Bandung, ini pun tak merasa terkejut. "Dari dulu juga sudah ada," katanya kepada Paulus Winarto dari Gamma. Yang penting, orangnya harus representatif. Percuma pula bila seorang seniman tapi tak membawa aspirasi seniman. Seorang yang bukan seniman malah bisa lebih bagus bila dapat menyalurkan aspirasi seniman. "Cuma kalau orangnya kayak Edi Sud (pimpinan artis Safari, Red.), yang programnya tak jelas, ya percuma belaka," kata Harry.
Terlepas dari kritik Salim yang logis itu, munculnya fenomena seniman partai ini mengingatkan publik kepada debut Lekra, yang dulu menjadi "onderbow" PKI. Tentu saja bukan atas ideologi komunisnya. Melainkan bagaimana kelak para seniman partai ini beroperasi sebagai orang partai maupun berkreatif sebagai seniman. Apakah paradigma Lekra akan terulang, atau ada wacana baru yang membedakannya?
Seperti meluas diketahui, konsep seni Lekra dulu tak lepas dari ajaran leninisme. Kita simak lagi tulisan Lenin di Harian Novaya Zhizn (Hidup Baru) edisi Nomor 12 Tahun 1905. Antara lain, Lenin menulis, "Sastra (atau seni) harus menjadi bagian dari perjuangan kepentingan proletar, menjadi gir dan sekrup dari mesin raksasa sosial demokrat yang digerakkan oleh kaum buruh". Artinya, Lekra adalah organisasi revolusioner yang memoblisasi rakyat dalam perjuangan partai komunis untuk merebut kekuasaan sebagaimana diajarkan oleh Lenin dan diperkeras oleh Stalin.
Ikra tentu menampik jika dirinya seakan berada pada sudut pandang yang dianggapnya sudah kuno itu. Ia mengaku terjun ke PAN, bermula ketika GM dan Amien Rais datang ke Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan mengajak sejumlah seniman untuk berkiprah di partai, menyusul lengsernya Soeharto. "Waktu itu, GM dan Amien menyebut akan mendirikan partai yang berlandas kepada moral yang religius," kata Ikra. Setelah berpikir beberapa hari, Ikra pun oke dan bergabung ke PAN. Meski belakangan GM tak ikut, karena merasa sebagai wartawan Tempo ia harus tetap independen.
Memang berbeda dengan masa Orde Baru, ruang publik, seperti partai, legislatif, dan eksekutif, hanya dikuasai Golkar, militer, dan birokrat. "Tapi juga tunduk pada elite yang dikangkangi Soeharto," kata Ikra. Maka, ketika zaman baru datang, Ikra pun bertekad terjun ke politik agar masyarakat madani bisa menggantikan Golkar, militer, dan kaum birokrat. "Tak seperti di zaman Orde Lama ketika seniman cuma alat partai, dan seniman di zaman Orde Baru tak boleh berpolitik," kata Ikra.
Ikra bukannya tak menyadari seniman tetap bisa berpolitik secara independen, seperti Rendra dan Nano Riantiarno, yang secara substansial melakukan koreksi kepada kekuasaan lewat kreatif seni. "Tapi, cara itu terbukti tidak efektif," kata Ikra. Ikra bercerita, "Waktu dulu Rendra dan Nano dilarang pentas, kita ramai-ramai ke DPR, tapi cuma ditampung saja tanpa realisasi," kata calon anggota legislatif nomor satu PAN untuk Banyuwangi di DPR itu. Artinya, bika Ikra di DPR, ia bisa memperjuangkan sejenis undang-undang yang melarang penguasa melarang pertunjukan kesenian.
Apa bedanya PAN dengan PKI dengan Lekra-nya? Semasih menjadi Mara (Majelis Amanat Rakyat), sebelum jadi PAN, rupanya GM dan Tuti Herati ikut merancang cetak biru partai itu. Baik menyusun program yang menyentuh kesenian maupun untuk memenangkan pemilihan umum. Malah, di dalam pemenangan pemilu PAN, Ikra dan sejumlah seniman ikut terlibat. "Beda dengan dulu (masa Lekra) seniman malah dikendalikan," katanya.
Suara senada terdengar dari Yoseano Waas, anggota DPR dari Golkar. Seniman yang sudah membintangi 102 film itu --dan sudah 30 tahun berkecimpung di politik-- menganggap seorang seniman terjun ke politik adalah hak asasi manusia. "Yang penting, ia harus menyadari kapan ia tampil sebagai seniman dan kapan sebagai aktivis partai," kata artis, yang tak setuju bila seni hanya dianggap hiburan, itu kepada Rojes Saragih dari Gamma. Artinya, sebagai seniman, ia tetap independen. Ia pun merasa tak dieksploitasi Golkar belaka. Tapi juga menyumbang pikiran kepada Golkar.
Tak semua seniman seperti Yoseano dan Ikra. Tak sedikit pula yang memilih tetap berada di luar partai, seperti Rendra, Nano, maupun Ratna Sarumpaet. Ratna yang dicekal dan kondang karena pementasan drama Marsinah yang ditulisnya lebih memilih sebagai pengontrol kekuasaan agar tak menindas rakyat lewat kreativitas seninya. Lagi, sulit bagi ia melihat ada partai yang betul-betul dipercayainya untuk membela rakyat yang selama ini dibelanya. "Ini bukan soal sombong," kata Ratna yang pernah dituduh melakukan makar, gara-gara menjadi Koordinator Siaga (Solidaritas Indonesia untuk Amien Rais dan Megawati) beberapa waktu lalu.
Begitu pun Ratna tak keberatan jika ada sejumlah seniman memilih partai tertentu, sepanjang bukan karena duit. Tapi, ia kesal ada artis yang berpartai karena duit. Misalnya, Renny Djajoesman yang bilang "hidup mati demi Golkar". "Hal itu masih karena uang, mereka dimanjakan Golkar, mungkin semacam utang budi, dan mungkin mereka masih yakin Golkar akan menang," kata Ratna. Padahal, apa yang diperbuat Golkar selama ini, kata Ratna, sudah menyalahi sesuatu yang semestinya diperjuangkan seniman. "Jangan kontradiktiflah," katanya kepada Yesi Maryam dari Gamma.
Artis dan seniman yang bergonta-ganti partai pun dinilai Ratna tak apa apa. "Bisa saja, itu malah sehat, asal ada alasan riil yang logis, yang bukan karena uang," katanya. Ratna pun sebal terhadap para artis yang merasa dibesarkan Golkar. Ia memberi contoh para penyanyi dangdut yang justru "show" mereka diramaikan rakyat. Kaset mereka dibeli rakyat. "Rakyatlah yang membuat mereka populer, mestinya mereka harus membela rakyat," kata Ratna. Jadi, bila kini mereka masih di Golkar, menurut Ratna, itu tidak "fair" terhadap rakyat. Diakuinya, hal itu tak menimpa semua seniman. "Tapi, artis dangdut dan artis sinetron, bila tanpa rakyat, kan tak sukses," katanya.
Cara berpikir bahwa produser dan pihak televisi partikelirlah yang berjasa kepada para artis dangdut, pop, dan sinetron segera dikoreksi Ratna. "Coba ketika 'rating' acara mereka tinggi hingga semakin laris, bukankah karena acara mereka ditonton rakyat. Jadi bela rakyat, dong, sekarang," kata Ratna, dengan emosi berkobar-kobar.
Meski tak meledak-ledak, Nano Riantiarno yang baru rampung mementaskan drama Opera Ikan Asing--sebuah kritik kontekstual kepada dunia perbankan yang amburadul-- juga memilih tak berpartai. "Saya memilih dunia panggung teater sebagai medium berpolitik tanpa politik praktis," katanya kepada Rika Condessy dari Gamma. "Saya melihat apa yang terjadi di sekeliling, saya serap, dan saya sajikan ke panggung, dengan harapan akan mengilhami pemegang keputusan dalam memimpin negara dan publik," katanya.
Lagi pula, Nano memandang partai itu "bisa hidup dan mati". Sedangkan, karya seni lebih abadi. Belum lagi soal tragedi partai yang pada suatu musim bisa dipuja-puji, tapi lain musim dihujat dan dicaci maki. Tapi, yang paling melarang langkahnya masuk ke sebuah partai adalah ada satu garis yang mengatur orang hanya berbuat demi partai saja. "Sedangkan, inti kesenian adalah berbuat untuk kemanusiaan," kata Nano.
Toh, bila sejumlah seniman masuk sebuah partai, Nano bisa menghormatinya sebagai sebuah pilihan hidup. "Kita hormatilah pilihan mereka, dan mudah-mudahan pilihan saya pun dihormati," katanya. Padahal, agar tahu saja, mertua Nano, ayah Ratna Riantiarno, Abdul Madjid, adalah salah seorang deklarator PDI, dan kini sudah pindah ke PDI Perjuangan.
Sekarang, dengar pula komentar komposer kontemporer dari Bandung ini seperti bunyi musiknya yang berdentam-dentum. Dialah Harry Roesli, yang malah pernah dalam suatu acara televisi, bilang akan mendirikan PAP (Partai Anti Partai) dengan lambang 48 partai. "Multipartai itu pembusukan. Entah oleh siapa, mungkin seorang superior, coba bila 48 kue itu menjadi busuk semua, kita cuma bisa bingung," katanya. Maka itu, Harry tak mau membuat partai baru, meskipun ia punya pasukan sebanyak 36.000 anak jalanan. "Dulu tiga saja kita bingung," katanya.
Bila Harry tak mau memasuki satu partai tertentu, tak lain karena trauma ditambah krisis kepercayaan terhadap partai yang ada. "Saya tak bisa percaya begitu ada partai yang bilang partainya berubah. Ibarat pelacur yang tiba-tiba mengaku dirinya sudah berubah," kata Harry. Lagi pula, sudah terlalu banyak partai yang semua mengaku reformis. "Wah, reformasi telah kehilangan makna dan wibawa," tambah Harry.
Harry tak setuju bila dianggap seniman yang tak berpartai sama dengan "macam ompong". Karena, menurutnya, dalam menyampaikan kritik, seniman tak harus membuat solusi. Solusi itu justru harus dibikin oleh mereka yang mampu. Seniman toh bukan manusia super yang tahu segala soal. "Tapi, bila jadi anggota DPR, kita jadi terkurung tak bisa mengkritik," kata Harry, yang berbeda pandang dengan Ikra. Celakanya, seniman dan artis yang masuk partai, apakah partainya jelek atau bagus, harus dibela mati-matian. "Mana bisa independen," kata Harry.
Barangkali, komentar dari Ignas Kleden, budayawan dan penulis esai, ini menarik direnungkan. (Lihat: "Ibarat Pelukis Bermain Sepak Bola"). Seniman berpolitik itu ibarat seorang pelukis yang juga pemain sepak bola. Artinya, peran ganda itu bisa saja. Tak harus menyetop satu di antaranya. Ignas mengingatkan, toh seniman itu bukan mahluk suci, yang hanya berkutat dengan sajak, partitur, cat, dan sebagainya. "Bila dosen, dan sopir boleh berpolitik, kenapa seniman tidak?" kata Salim. Yang penting, jangan distorsi. Ibarat seorang mahaguru jangan memaksa mahasiswanya memilih partainya. Di atas kertas memang mudah.
Bersihar Lubis dan A. Latief Siregar

No comments: